Residivis Insaf Malah Dijadikan Sapi Perahan
Ini narasi jaman dulu saat Indonesia mengenali operasi penembak mirakelus (petrus). Petrus ini berlangsung diawalnya mendekati tengah dasawarsa 80-an. Penembak mirakelus ini tembak mereka yang dipandang lakukan kejahatan serta membuat kerusuhan.
Terkadang kita yang tidak senang orang orang melakukan perbuatan onar, petrus ini disenangi. Karena, situasi jadi aman sebab mereka yang membuat risau ditembaki. Tetapi, narasi waktu operasi petrus di 80-an itu menimbulkan bagian negatif. Operasi petrus justru dibuat alat penekan serta kekerasan.
Serta satu narasi yang ramai waktu itu ialah tewasnya Ikhsan, seorang residivis yang insaf. Ikhsan yang dari Jombang tiba ke pejabat militer untuk menjelaskam jika ia ialah residivis yang insaf.
Disamping itu, Ikhsan juga memberikan upeti. Hal tersebut dilaksanakan supaya Ikhsan tidak lagi jadi target petrus sebab ia sudah insaf. Nah, peristiwa itu justru malah jadikan Ikhsan sapi perahan di saat-saat setelah itu. Ia diperas berulang-kali oleh aparat keamanan.
Serta, nilainya tidak main-main. Keseluruhan satu kg emas, sawah ludes dipasarkan supaya uangnya diserahkan ke aparat keamanan. Nilainya bila dihitung sesuai dengan uang saat ini dapat capai miliaran rupiah.
Pemerasannya juga tidak bermain-main. Pagi meminta, sore harus ada. Jika tidak menyerahkan, karena itu Ikhsan jadi target petrus. Selanjutnya, Ikhsan yang dunianya itu telah ludes, masih ditembak .
Si anak namanya Sugianto yang lihat penembakan itu akui trauma mengagumkan. Sugianto juga karena sangat takutnya lari sesudah ayahnya ditembak. Karena, Sugianto akan jadi saksi penembakan itu. Waktu melarikan diri di TKP, Sugianto entahlah bagaimana dapat melalui tembok setinggi 2 mtr. secara cepat. Kemungkinan rasa takutnya dicari militer membuat Sugianto berkekuatan tambahan.
Sesudah tindakan itu, Sugianto juga cari keadilan sekaligus juga menjadi incaran. Ia dibantu aktivis seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara (sempat jadi Ketua Komnas HAM), Luhut Pangaribuan, dan yang intensif ialah Busyro Muqoddas yang sesudah reformasi sempat memegang Ketua KY serta KPK.
Semasa pelarian, Sugianto juga bertukar nama jadi Fauzi. Hal tersebut dilaksanakan untuk hilangkan jejak. Semasa beberapa minggu Sugianto geser dari satu tempat ke tempat yang lain dengan perlindungan beberapa aktivis. Semasa enam bulan, Sugianto di Yogyakarta bersama-sama Busyro. Dalam persembunyian itu, Sugianto tidak lakukan pekerjaan apa saja terkecuali salat, olahraga, makan, tidur.
Selanjutnya karena suport "politik" dari Jakarta, Sugianto dapat pulang ke tempat tinggalnya dengan aman. Faksi militer telah jamin jika Sugianto tidak akan terkena apa-apa. Dalam buku "Busyro Muqoddas, Penyuara Nurani Keadilan", Sugianto akui jika semasa dibantu ia tidak diambil ongkos, justru dikasih uang.
Narasi masalah operasi petrus terkadang memang membuat beberapa kita seperti memerlukan di waktu banyak kejahatan. Tetapi, rupanya operasi seperti itu justru jadi masalah tertentu. Penyelewengan pada kekuasaan yang besar itu mencelakakan.
Instansi atau barisan yang dikasih kemampuan mengagumkan, saat lakukan penyelewengan maka benar-benar beresiko. Di level mana saja, kekuasaan atau kemampuan yang mengagumkan berpotenai disimpangkan untuk kebutuhan spesifik.
Karena itu, dalam banyak level pemerintahan ada proses pemantauan. Agar apa? Agar mereka yang mempunyai kekuasaan itu tidak semena-mena memakai kekuasaannya. Instansi mana saja yang mempunyai kekuasaan yang besar, ditambah lagi dalam soal memberi hukuman atau tangkap orang perlu dipantau.
Masalah yang selanjutnya ada ialah saat yang memantau rupanya tidak dapat jalankan pekerjaannya dengan optimal. Kemungkinan takut, kemungkinan tidak ingin kerja, kemungkinan sudah ditangkap. (*)